Di Indonesia, dalam membicarakan konteks keagamaan secara ritual barangkali relatif sudah bisa dikatakan sebagai sesuatu yang sudah final untuk dipersoalkan kembali dalam wacana pemahman Islam, karena setiap manusia yang menganggap dirinya beragama (dalam hal ini adalah Islam) mungkin sudah menerapkan secara sempurna ritualitas keagamaannya dalam memenuhi kewajibannya, karena hal itu telah tercantum dalam rukun iman dan rukun Islam. Dalam fenomena keagamaan saat ini, sering sekali kita melihat fenomena keberagamaan melalui adanya penandaan pembangunan rumah-rumah ibadah (masjid/mushala) yang semakin mengalami peningkatan secara kuantitatif. Di sisi yang lain pula, kita pun sering menyaksikan adanya peningkatan pada animo masyarakat untuk mengunjungi rumah peribadahan prihal menjalankan kewajiban yang bercorak ritualistik. Melalui pembacaan fenomena seperti inilah, maka kita dapat melihat bahwa umat Islam di negeri ini mungkin sudah berhasil mengalami peningkatan dalam menjalankan proses keberagamaan yang bersifat ritual.
Namun, bagaimana dengan menjalankan proses keagamaan yang berhubungan secara langsung dengan realitas sosial-kemanusiaan yang pada saat ini masih menyisakan berjuta persoalan potret buram pada sisi kemanusiaan kita? Banyak sekali bukti empiris yang sangat menggelisahkan keberadaan kita di tengah masih maraknya masalah tentang ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, marginalisasi jender, manipulasi politik penguasa, bahkan sampai pada titik masalah imperialisme kebudayaan, setidaknya hal ini perlu diperhatikan secara serius oleh para pemuka agama dan para manusia yang selama ini mengaku bahwa dirinya adalah mahluk yang beragama. Lalu, dimanakah kehadiran agama ditengah kompleksnya persoalan ini semua? Apakah agama akan selalu ditempatkan terus di atas langit yang berada jauh dengan eksistensi kehadiran manusia di saat manusia telah dilanda oleh kemunkaran sosial? Atau agama hanya sebatas dikantongi untuk kepentingan pribadi sebagai upaya meraih kenikmatan surgawi secara individual?
Dari sini kita dapat melihat bahwa agama seolah telah terpisah dengan kehadiran masyarakat, agama seolah tidak mampu menjawab persoalan yang menjadi kemelut dan krisis pada nilai-nilai kemanusiaan, agama telah dihilangkan fungsinya sebagai rahmat seluruh alam semesta dan petunjuk bagi umat manusia. Adapun saat ini telah muncul paham keberagamaan yang berupaya untuk membebaskan manusia dari kemunkaran, alih-alih seperti itu hanya sebatas bersifat simbolik. Dan pada proses selanjutnya, hal tersebut akan mengarah pada suatu sikap untuk melakukan justifikasi kebenaran yang menganggap pihak yang berbeda (othernees) dengan pemahamannya harus dihilangkan dan digeser jauh-jauh dari keberadaanya. Akibatnya, pada proses selanjutnya peran agama seakan sesuatu yang sangat menakutkan, agama seakan sesuatu yang memiliki wujud yang galak, agama seakan-akan mengjarkan untuk mengahalalkan bahwa pertumpahan darah itu adalah sesuatu yang dihalalkan, sehingga pada akhirnya agama telah menjadi dogma yang sangat ekslusif, tidak membuka dirinya untuk berkenalan dengan “yang lain” (the others).
Berangkat dari kegelisahan inilah maka, suatu upaya yang sangat berat sekali bagi kita sebagai mahluk yang menyatakan dirinya sebagai mahluk yang beragama untuk membaca kembali doktirn-doktrin keagamaan secara kritis pada sisi teologis semata dan berupaya untuk menempatkan kembali fungsi keagamaan yang lebih mengarah pada suatu bentuk transformasi sosial yang mengindahkan nilai-nilai kemanusiaannya. Sehingga dengan demikian, peran dan fungsi keagamaan yang kita yakini selama ini dapat menghadirkan bentuknya sebagai ruh progresif dan selalu mendorong manusia pada proses pendewasaanya tanpa harus meninggalkan konteks dan momentum setiap kehidupannya.
Secara pembacaan historis, hadirnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah suatu bentuk spirit yang membawa manusia pada ruang pembebasan. Dilihat dari aspek tauhid yang menjadi pijakan dasar Islam, bahwa esensi paling fundamental dari makna tauhid adalah suatu upaya untuk membebaskan ummat manusia dari kesadaran atas keyakinannya yang selalu menggantungkan diri pada kekuatan-kekuatan palsu. Ketergantungan ini adalah suatu usaha sikap manusia yang selalu menghambakan dirinya pada sesuatu yang lain, seperti ketergantungan manusia kepada suatu kekuatan sosial-politik, ideologi, dan bentuk materi-materi seperti berhala dan yang lainnya. Dari adanya makna tauhid yang telah dibawa oleh Islam inilah maka, dalam kehadirannya di bumi ini bahwa Islam memmang telah hadir sebagai suatu usaha bentuk pembebasan manusia hanya kepada satu unsur kekuatan, yaitu kekuatan Allah.
Ali Syari’ati (1933-1977), seorang intelektual berpengaruh dalam kebangkitan revolusi Islam di Iran, memandang secara gamblang bahwa konsepsi tauhid sebagai jalur pembebasan suatu spirit yang menjamin kebebasan manusia dan kemuliaanya semata. Pandangan tauhid telah mendorong manusia untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu dan kenistaan oleh manusia atas manusia. Tauhid telah membawa kesadaran manusia pada suatu kesadaran akan pentingnya nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan pembebasan. Kenapa? Karena pandangan hidup tauhid merupakan suatu pandangan kesatuan hidup yang univesal dari tiga hipostasis yang terpisah yaitu Allah, Alam, dan manusia. Inilah esensi tauhid sebagai kesatuan universal dalam doktrin Islam yang menandakan bahwa Islam merupakan suatu entitas yang hanya berpegang kepada satu kekuatan, yaitu kekuatah Allah dan juga pada kesatuan sebagai realisasi fungsi univesalnya sebagai rahmat semesta alam.
Selain dari sisi kandungan makna tauhid, kandungan makna lain dari doktirn Islam yang menyatakan bahwa agama Islam adalah agama yang membawa kehidupan ummat manusia dari ruang kegelapan menuju pencerahan merupakan suatu manifestasi yang meiliki kandungan makna pembebasan. Secara historis, Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. pada saat itu tengah berhadapan dengan suatu kondisi realitas yang dehumanisasi. Kulutur sosial seperti pembodohan, kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi gender terhadap kaum perempuan, dan yang lainnya, merupakan suatu kondisi yang telah dirubah secara revolusioner oleh cahaya keislaman. Islam hadir sebagai kekuatan yang berada di garda terdepan dalam mengusahakan terbentuknya spirit transformatif-progresif dan revolusioner dalam membawa kesadaran manusia untuk melawan realitas penindasan yang dehumanisasi yang melekat pada kultur masyarakat.
Dari upaya pembacaan historis inilah maka, kita dapat melihat bagaimana cahaya Islam yang datang ke dunia ini merupakan suatu potensi sebagai doktrin yang melibatkan langsung dalam menyelesaikan problem kemanusiaan yang kian menumpuk di tengah laju peradaban manusia. Pemahaman doktrin Islam sejatinya tidak hanya merambah untuk dikonsumsi secara pribadi, akan tetapi dalam hal ini bagaimana Islam sebagai spirit yang membebaskan dapat ditemoatkan pada ranah kemanusiaan. Karena hadirnya gama di dunia ini merupakan suatu tanggung jawab dalam membenahi keadaan publik yang riil.
Pada titik ini, peran Islam di negeri ini di tengah keadaan realitas-kemanusiaan yang masih menyisakan problem keburaman kehidupan masyarakat kita dewasa ini maka kita harus menempatkan kembali bahwa peran Islam setidaknya dapat membawa pesan-pesan yang transformatif yang akan mengukuhkan kedamaian, keadilan, dan kemanusiaan. Karena itu, setidaknya kita harus memunculkan pesan moral Islam yang humanis, kritis, transformatif, dan menempatkannya pada ranah praksis. Sehingga pemahaman keberagamaan kita dalam menjalankan visi universal Islam sebagai rahmatan lil alamin tidak di tempat pada suatu ruangan yang hampa, akan tetapi bagaimana kita coba usahakan visi univesal Islam itu pada ranah praksis sehingga memiliki dampak yang konkret bagi petunjuk kemanusiaan yang hakiki. Wallahu ‘alam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar