Rabu, 13 April 2011

Kegiatan Meet & Greet Film "Si Anak Kampung" (LSO Seni & Budaya PC IMM Jakarta Timur)

Kegiatan Meet & Greet Film "Si Anak Kampung" yang di selenggarakan 12 April 2011 di Aula Kampus B UHAMKA oleh PC IMM Jakarta Timur, merupakan kegiatan pembuka dari LSO Seni & Budaya yang belum lama didirikan di PC IMM Jakarta Timur yang bekerja sama dengan Maarif Institute Production, Damien Dematra Production serta di sponsori oleh Rimba Group sebagai sponsor panitia.
Kegiatan ini berlangsung mulai pukul 13:00 s/d 16:00 dengan beberapa rangkaian acara yakni: Jumpa Produser Fajar Riza Ul-Haq, Sutradara Damien Damatra & pemeran tokoh dalam film tersebut Lucky Moniaga, Maya Ayu Permata Sari, Radith Syam dll, lalu dilanjutkan dengan menonton behind the scene & Triler Film "Si Anak Kampung" untuk pertama kalinya dan film ini resmi tayang di Bioskop mulai tanggal 21 April 2011.
Kegiatan yang deketuai oleh IMMawan Ilman Alfarisi ini juga menyuguhkan hiburan bagi Peserta Kegiatan yakni Pementasan Drama oleh Teater Didik BEM FKIP yang di pandu oleh dua presenter kocak (IMMawati Destia & Tami), dan Kegiatan ini ditutup dengan pembagian Door Prize dari Sponsor untuk peserta yang beruntung dan foto bareng bersama pemeran tokoh dalam Film "Si Anak Kampung".
Alhamdulillah kegiatan ini berjalan dengan sukses, semoga dapat memberikan inspirasi dan motivasi kepada kader-kader persyarikatan Muhammadiyah, peserta kegiatan dan masyarakat.  (Agung&Arif)

Sajak Bintang Merah (Untuk Diriku, Temanku, Kampusku & Bangsaku

Sajak Bintang Merah (Untuk Diriku, Temanku, Kampusku & Bangsaku)
oleh: Agung T. Prawoto
Menerawang Lingkungan yang tak lagi sehat
Mengarungi samodra segitiga bermuda
Melirik bangunan dengan penuh rasa heran dan janggal
Menghisap asap pembangunan sampai bengong' "nrimo"
Dahulu ku melihat pepohonan rindang berbuah lebat
Pohon rambutan sebelah masjid masih jadi rebutan buahnya kala itu
Pohon jambu air disebelah kiri masjid masih kokoh berdiri
Kini...
Pohon Rambutan tergusur kanopi yang jaraknya beberapa meter dari bangkainya...
Pohon Jambu air yang sekarang digantikan oleh bungkus perangkat rumah ibadah...
Sebrangnya percis mesin raksasa bekerja tak hentinya...
Orang lalu lalang tanpa wacana...
Masa pembangunan yang mana yang tidak merugikan?
Mansour Fakih "Runtuhnya teori Pembangunan"
Hanya menjadi catatan usang yang berdebu...
nampaknya bangunan perpustakaan mulai hilang peranan
Manusia yang jauh dari buku
Akal yang jauh dari derita lingkungan
Kekuasaan yang jauh dari efek derita
Ruang kelas yang tidak lagi menggairahkan...
Tulisan mulai kering dari tembok-tembok kaku
Hijau tumbuhan kini tergantikan gedung kokoh nan angkuh
dimana kadang orang-orang dengan berbagai ekspresi berkumpul dalam antrian kepentingan...
kadang terlihat lalu lalang orang-orang penting dengan berbagai kepentingan juga'
belantara duka seantero jagat bergema
tak kunjung meredakan kesibukan kota
masa pembangunan sedang berlangsung
materialisme membawa gerbong kebisuan
melintas negeri-kota-kampus penuh hingar dengan barang-barang barunya...
realitas meretas kungkung kepala buntung
berpikir tapi berbohong - Jujur namun takut
keras namun lambat - lembut dan hanyut
tangga-tangga berkerangkeng berisi manusia dengan "uniform"nya
kian memperjelas pertentangan kelas...
kemudian harapan-harapan idealitas mulai kandas...
keramas mereka dengan debu penistaan
kepingan ide-ide liar bermunculan seiring kerasnya penistaan
berpikir pun sulit, menyuarakan dalam tenggerokan ang tercekik
rindu mendalam akan hal-hal yang terang, lugas & berwibawa
teriakan dalam ruang hampa
terngiang dalam benak ini pernyataan Buya Syafii Ma'arif: "Negara tidak memberikan apa-apa pada rakyatnya"
dimana tukang becak tidak akan makan jika ia tidak mengayuh pedalnya...
nelayan tidak akan makan jika iya tidak menantang Samodra
petani yang hidup kian sulit karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada nasibnya...
sekarang bukalah mata kita dan lihat disekitar lingkungan kita dengan seksama
karena nabi Muhammad tidak hanya membaca teks namun konteks...
apa-apa yang terkait dengan kepentingan ummat sejauh mana ia memenuhinya...
bandingkan dengan pemenuhan kebutuhan golongannya...
kemandirian adalah tuntutan mutlak bagi kokohnya objektivitas
bintangku kini tak lagi indah ia me'merah sebab marah
matahariku tak lagi memberikan kehangatan pada bumi melainkan ultraviolet yang penuh dampak
bumiku kian merana karena terus diperkosa bergiliran oleh manusia yang tidak manusiawi
dimana tempat bersandar untuk sekadar menahan rasa gugup dari uang bayaran yang dirasa tidak sanggup dibayar?
dimana tempat teduh untuk menghidari panasnya matahari yang sesungguhnya sumber kehidupan
dimana gerbong-gerbong kesejahteraan disandera sehingga ia tidak kunjung tiba?
dimana pendidikan yang manusiawi dikebumikan jika ia telah mati?
mari berhimpun, bersatu padu...
menderukan langkah, jangan goyah...
kala suba akan segera tiba jika kita memintanya untuk segera tiba...
tapi ia akan sampai tujuannya pula walau kita tak meminta, karena sejatinya ia berjalan menuju kearah kita...
"Hasta Siempre" Salam Hangatku untukmu...
Bilahi fii sabilillhaq fastabiqul khaerat...
Semoga Sehat & Sukses Selalu
"Semoga Bermanfaat..."

KOTA METROPOLITAN

Siang itu di kota metropolitan
Panas terik matahari menghujam aspal
Berjalan seorang wanita tua dan anaknya
Meski  angin  membawa aroma tubuh yang tak sedap
Tubuh yang diselimuti kain usang
Berjalan dan terus berjalan
Langkah demi langkah menyisir tiap-tiap pintu
Tak menghalangi langkah kaki yang tak beralas
Mengulurkan tangan
Berharap ada seorang dermawan yang baik hati
Meski terkadang selalu diremehkan
Hanya itulah yang yang ia bisa perbuat
Meski rasa jenuh selalu menghampirinya
Meski perbuatan ini dilarang oleh para pejabat Negara
Tak jarang menjadi kejaran aparat Negara
Tubuh yang lelah dimakan usia
Berlari menghindari kejaran aparat Negara
Banyak orang bilang kota metropolitan menjanjikan
Orang desa berduyun-duyun ke kota
Bertarung dalam pergulatan kota metropolitan
Yang kalah akan di makan kejamnya kota metropolitan
Inilah realitas kota metropolitan

"LID"
Kisi-kisi LID PC IMM Jakarta Timur:
1. Resensi Buku
2. Makalah dengan Materi yang ada di SPI
3. Totalitas Kesediaan Mengabdi Sebagai Instruktur PC IMM Jakarta Timur
Billahi fii Sabililhaq fastabiqul khaerat...
Sukses Selalu...
Semoga Bermanfaat...
Bidang Kaderisasi PC IMM Jakarta Timur

Meet & Greet Si Anak Kampung (LSO Budaya PC IMM Jakarta Timur)

JAKARTA, KOMPAS.com - Film bergenre keluarga 'Si Anak Kampung', yang mengangkat kisah Buya Syafii Maarif, tokoh Muhammadyah, tokoh nasionalis, dan pluralis, akan ditayangkan di bioskop pada 21 April 2011. Tayangan perdana akan ditayangkan 19 April 2011 di Epicentrum XXI, Kuningan, Jakarta.
http://entertainment.kompas.com/read/2011/03/30/07171037/Medio.April.Kisah.Si.Anak.Kampung.Akan.Dirilis.
Hadirilah Meet & Greet "Si Anak Kampung" yang di selenggarakan oleh LSO Budaya PC IMM Jakarta Timur, di Kampus B UHAMKA dengan acara pemutaran Behind The Scene Film dan Temu Pemeran Filmnya.
Dilaksanakan pada: 12 April 2011 mulai Pukul 13:00 s/d Selesai
SWP : Rp. 5.000/orang 
Dapatkan Juga Door Prize dari Sponsor. (tp9ozai.red)

Menempatkan Kembali Islam Sebagai Praksis Pembebasan (Oleh: Salman Ahmad Ridwan)

Di Indonesia, dalam membicarakan konteks keagamaan secara ritual barangkali relatif sudah bisa dikatakan sebagai sesuatu yang sudah final untuk dipersoalkan kembali dalam wacana pemahman Islam, karena setiap manusia yang menganggap dirinya beragama (dalam hal ini adalah Islam) mungkin sudah menerapkan secara sempurna ritualitas keagamaannya dalam memenuhi kewajibannya, karena hal itu telah tercantum dalam rukun iman dan rukun Islam. Dalam fenomena keagamaan saat ini, sering sekali kita melihat fenomena keberagamaan melalui adanya penandaan pembangunan rumah-rumah ibadah (masjid/mushala) yang semakin mengalami peningkatan secara kuantitatif. Di sisi yang lain pula,  kita pun sering menyaksikan adanya peningkatan pada animo masyarakat untuk mengunjungi rumah peribadahan prihal menjalankan kewajiban yang bercorak ritualistik. Melalui pembacaan fenomena seperti inilah, maka kita dapat melihat bahwa umat Islam di negeri ini mungkin sudah berhasil mengalami peningkatan dalam menjalankan proses keberagamaan yang bersifat ritual.
Namun, bagaimana dengan menjalankan proses keagamaan yang berhubungan secara langsung dengan realitas sosial-kemanusiaan yang pada saat ini masih menyisakan berjuta persoalan potret buram pada sisi kemanusiaan kita? Banyak sekali bukti empiris yang sangat menggelisahkan keberadaan kita di tengah masih maraknya masalah tentang ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, marginalisasi jender, manipulasi politik penguasa, bahkan sampai pada titik masalah imperialisme kebudayaan, setidaknya hal ini perlu diperhatikan secara serius oleh para pemuka agama dan para manusia yang selama ini mengaku bahwa dirinya adalah mahluk yang beragama. Lalu, dimanakah kehadiran agama ditengah kompleksnya persoalan ini semua? Apakah agama akan selalu ditempatkan terus di atas langit yang berada jauh dengan eksistensi kehadiran manusia di saat manusia telah dilanda oleh kemunkaran sosial? Atau agama hanya sebatas dikantongi untuk kepentingan pribadi sebagai upaya meraih kenikmatan surgawi secara individual?
Dari sini kita dapat melihat bahwa agama seolah telah terpisah dengan kehadiran masyarakat, agama seolah tidak mampu menjawab persoalan yang menjadi kemelut dan krisis pada nilai-nilai kemanusiaan, agama telah dihilangkan fungsinya sebagai rahmat seluruh alam semesta dan petunjuk bagi umat manusia. Adapun saat ini telah muncul paham keberagamaan yang berupaya untuk membebaskan manusia dari kemunkaran, alih-alih seperti itu hanya sebatas bersifat simbolik. Dan pada proses selanjutnya, hal tersebut akan mengarah pada suatu sikap untuk melakukan justifikasi kebenaran yang menganggap pihak yang berbeda (othernees) dengan pemahamannya harus dihilangkan dan digeser jauh-jauh dari keberadaanya. Akibatnya, pada proses selanjutnya peran agama seakan sesuatu yang sangat menakutkan, agama seakan sesuatu yang memiliki wujud yang galak, agama seakan-akan mengjarkan untuk mengahalalkan bahwa pertumpahan darah itu adalah sesuatu yang dihalalkan, sehingga pada akhirnya agama telah menjadi dogma yang sangat ekslusif, tidak membuka dirinya untuk berkenalan dengan “yang lain” (the others).
Berangkat dari kegelisahan inilah maka, suatu upaya yang sangat berat sekali bagi kita sebagai mahluk yang menyatakan dirinya sebagai mahluk yang beragama untuk membaca kembali doktirn-doktrin keagamaan secara kritis pada sisi teologis semata dan berupaya untuk menempatkan kembali fungsi keagamaan yang lebih mengarah pada suatu bentuk transformasi sosial yang mengindahkan nilai-nilai kemanusiaannya. Sehingga dengan demikian, peran dan fungsi keagamaan yang kita yakini selama ini dapat menghadirkan bentuknya sebagai ruh progresif dan selalu mendorong manusia pada proses pendewasaanya tanpa harus meninggalkan konteks dan momentum setiap kehidupannya.
Secara pembacaan historis, hadirnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah suatu bentuk spirit yang membawa manusia pada ruang pembebasan. Dilihat dari aspek tauhid yang menjadi pijakan dasar Islam, bahwa esensi paling fundamental dari makna tauhid adalah suatu upaya untuk membebaskan ummat manusia dari kesadaran atas keyakinannya yang selalu menggantungkan diri pada kekuatan-kekuatan palsu. Ketergantungan ini adalah suatu usaha sikap manusia yang selalu menghambakan dirinya pada sesuatu yang lain, seperti ketergantungan manusia kepada suatu kekuatan sosial-politik, ideologi, dan bentuk materi-materi seperti berhala dan yang lainnya. Dari adanya makna tauhid yang telah dibawa oleh Islam inilah maka, dalam kehadirannya di bumi ini bahwa Islam memmang telah hadir sebagai suatu usaha bentuk pembebasan manusia hanya kepada satu unsur kekuatan, yaitu kekuatan Allah.
Ali Syari’ati (1933-1977), seorang intelektual berpengaruh dalam kebangkitan revolusi Islam di Iran, memandang secara gamblang bahwa konsepsi tauhid sebagai jalur pembebasan suatu spirit yang menjamin kebebasan manusia dan kemuliaanya semata. Pandangan tauhid telah mendorong manusia untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu dan kenistaan oleh manusia atas manusia. Tauhid telah membawa kesadaran manusia pada suatu kesadaran akan pentingnya nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan pembebasan. Kenapa? Karena pandangan hidup tauhid merupakan suatu pandangan kesatuan hidup yang univesal dari tiga hipostasis yang terpisah yaitu Allah, Alam, dan manusia. Inilah esensi tauhid sebagai kesatuan universal dalam doktrin Islam yang menandakan bahwa Islam merupakan suatu entitas yang hanya berpegang kepada satu kekuatan, yaitu kekuatah Allah dan juga pada kesatuan sebagai realisasi fungsi univesalnya sebagai rahmat semesta alam.
Selain dari sisi kandungan makna tauhid, kandungan makna lain dari doktirn Islam yang menyatakan bahwa agama Islam adalah agama yang membawa kehidupan ummat manusia dari ruang kegelapan menuju pencerahan merupakan suatu manifestasi yang meiliki kandungan makna pembebasan. Secara historis, Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. pada saat itu tengah berhadapan dengan suatu kondisi realitas yang dehumanisasi. Kulutur sosial seperti pembodohan, kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi gender terhadap kaum perempuan, dan yang lainnya, merupakan suatu kondisi yang telah dirubah secara revolusioner oleh cahaya keislaman. Islam hadir sebagai kekuatan yang berada di garda terdepan dalam mengusahakan terbentuknya spirit transformatif-progresif dan revolusioner dalam membawa kesadaran manusia untuk melawan realitas penindasan yang dehumanisasi yang melekat pada kultur masyarakat.
Dari upaya pembacaan historis inilah maka, kita dapat melihat bagaimana cahaya Islam yang datang ke dunia ini merupakan suatu potensi sebagai doktrin yang melibatkan langsung dalam menyelesaikan problem kemanusiaan yang kian menumpuk di tengah laju peradaban manusia. Pemahaman doktrin Islam sejatinya tidak hanya merambah untuk dikonsumsi secara pribadi, akan tetapi dalam hal ini bagaimana Islam sebagai spirit yang membebaskan dapat ditemoatkan pada ranah kemanusiaan. Karena hadirnya gama di dunia ini merupakan suatu tanggung jawab dalam membenahi keadaan publik yang riil.
Pada titik ini, peran Islam di negeri ini di tengah keadaan realitas-kemanusiaan yang masih menyisakan problem keburaman kehidupan masyarakat kita dewasa ini maka kita harus menempatkan kembali bahwa peran Islam setidaknya dapat membawa pesan-pesan yang transformatif yang akan mengukuhkan kedamaian, keadilan, dan kemanusiaan. Karena itu, setidaknya kita harus memunculkan pesan moral Islam yang humanis, kritis, transformatif, dan menempatkannya pada ranah praksis. Sehingga pemahaman keberagamaan kita dalam menjalankan visi universal Islam sebagai rahmatan lil alamin tidak di tempat pada suatu ruangan yang hampa, akan tetapi bagaimana kita coba usahakan visi univesal Islam itu pada ranah praksis sehingga memiliki dampak yang konkret bagi petunjuk kemanusiaan yang hakiki. Wallahu ‘alam!

Muhammadiyah dan Konstruksi Gerakan Intelektual

Oleh: Salman Ahmad Ridwan·
“Kerja Intelektual adalah kerja seumur hidup”
(Ahmad Syafii Maarif)
Statement Buya Syafii Maarif sengaja telah saya kutip diawal tulisan ini karena munculnya gerakan intelektual dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu prasyarat yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan peradaban manusia. dalam berbagai forum seminar dan berbagai tulisannya, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini sering sekali menyampaikan pesan-pesan intelektualisme. Baginya, penyebab dari mundurnya masyarakat Muslim saat ini adalah karena prasyarat intelektualisme dalam tubuh masyarakat muslim telah ditindas karena alasan agama yang difahami secara sempit dan salah, maupun karena alasan politik kekuasaan dalam upaya mengebiri kebebasan berfikir yang menjadi pilar utama bagi intelektualisme (Maarif, 2010).
Sampai saat ini, fenomena dalam upaya membangun suatu gerakan intelektualisme masih sangat jauh sekali dari harapan. Upaya untuk membentuk suatu masyarakat intelektual sering sekali menjadi sesuatu yang sangat menakutkan bagi kalangan pemikir keagamaan yang konservatif-fundamentalisme. Sering sekali fenomena penyingkiran terhadap kalangan kaum muda yang memiliki pemikiran progresif-liberatif disingkirkan melalui justifikasi klaim kebenaran yang bersifat teologis, statement seperti telah menyimpang dari akidah Islam, murtad, bahkan klaim kekufuran, bertubi-tubi diserangkan pada tubuh kalangan kaum muda. Padahal, sebenarnya saya pikir Muhammadiyah sangat menyadari bahwa majunya peradaban Islam dalam lembar sejarah tidak bisa dilepaskan dari peran para pemikir yang handal seperti Ibnu Ruysd, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan sebagainya. Lebih parahnya, tindakan untuk melakukan justifikasi klaim kebenaran itu berujung pada ketidakharmonisan antara kelompok muda dan kelompok tua dalam tubuh persyarikatan. Sehingga, jika kita melihat fenomena tersebut melalui kerangka berfikir etika welas asih Kiai Ahmad Dahlan, upaya kompetitif dengan cara yang baik (fastabiqul khairat) sama sekali tidak mencerminkan sebagai citra yang baik pula bagi warga Muhammadiyah pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Melalui pernyataan yang sederhana ini, cobalah kita merefleksikan ulang tentang ketauladanan yang tercermin pada pribadi Kiai Ahmad Dahlan sebagai faunding fathers Muhammadiyah. Apa sekiranya pelajaran penting yang dapat kita ambil dari sosok Kiai Ahmad Dahlan?
Kiai Ahmad Dahlan Dalam Gerakan Intelektualisme
Walau pun banyak para pemerhati yang giat mengamati sosok pribadi Kiai Dahlan dalam perjalanannya telah berpandangan bahwa, Kiai dahlan adalah sosok manusia amal (man of action). Namun dari berbagai pandangan tersebut, kita tidak bisa melepaskan pula bahwa perjalanan Kiai Dahlan dalam memperjuangkan Muhammadiyah bukan berarti meninggalkan praktik intelektualisme. Walau pun Kiai Dahlan tidak meninggalkan karya intelektual dari hasil  pemikirannya, pada saat Kiai Dahlan membaca tafsir Al-manar sebenarnya sudah menandakan kepribadian intelektual pada sosok Kiai Dahlan, sekali pun ia telah berhadapan dengan kuatnya otoritas keagamaan yang dipegang oleh para ulama konservatif  di zamannya. Hal ini tentu tidak mengherankan bagi kita bahwa Kiai Dahlan adalah sosok pribadi yang memiliki pemikiran jauh melampaui zamannya.
Di sisi lain, tentang pergaulannya yang intens dengan siapa pun. Seperti pergaulannya dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang memiliki latar belakang pendidikan modern, dengan para tokoh-tokoh Belanda, pastur Kristiani, bahkan tokoh Komunis seperti Muso dan Alimin, sebenarnya telah memicu peran Kiai Dahlan dalam membawa suatu terobosan pemikirannya dengan semangat kemajuannya. Kiai Dahlan tidak memilah-milah untuk bergabung dengan siapa pun, bahkan dari intensitas pergaulanya itu, peran Kiai Dahlan dalam membentuk suatu persyarikatan Muhammadiyah telah terwujudkan, tentunya itu pun berkat dorongan dari rekan-rekannya di Budi Utomo. Dari pengembaraannya yang sangat luas itulah, telah tercermin pada diri sosok Kiai Dahlan bahwa kepribadiaanya sangat menghargai sekali kegiatan-kegiatan untuk belajar dengan siapa pun.
Memang selama satu abad ini, Muhammadiyah telah menampakan keberhasilannya dalam bidang amaliyah seperti mendirikan lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, panti asuhan anak yatim, lembaga amal zakat, panti jompo, adalah suatu kerja keras yang harus diapresiai secara baik oleh kita semua. Karena bagaimana pun, kerja nyata yang dilakukan oleh Muhammadiyah selama satu abad yang lalu merupakan suatu usaha kerja keras yang didorong semangat berorganisasi dalam bingkai iman yang mengental dalam upaya melebarkan sayap dakwah keMuhammadiyahannya.
Kendati pun demikian, di tengah kemunculan dengan adanya lembaga amal-usaha yang telah dikembangkan oleh Muhammadiyah, ternyata persoalan lain telah muncul dalam tubuh internal persyarikatan ini. Kemapanan yang terlalu berlebihan telah membawa Muhammadiyah pada suatu ruang dimana Muhammadiyah hanya sekedar melaksanakan program-program kerjanya yang bercorak instrumentalistik. Muhammadiyah telah terbawa pada sebuah diskursus social keagamaan yang selalu mendahulukan suatu hasil dan tujuan ketimbang mengahargai suatu nilai dalam prosesnya di saat menjalankan usaha untuk mencapai cita-citanya.Tentunya dalam hal ini kita tidak menyalahkan Muhammadiyah. Namun bagaimanapun juga, maju atau mundurnya persyarikatan ini, tergantung dari pengaruh orang-orang yang ada di dalamnya yang menjalankan organisasi ini.
Dari hal inilah, peran Muhammadiyah dalam melahirkan suatu masyarakat intelektual sangat penting sekali. Dengan munculnya para anak muda yang terus membawa membawa semangat intelektualisme dalam tubuh Muhammadiyah sebenarnya tidak perlu menjadi suatu kekhawatiran yang sangat berlebihan. Karena meledaknya pemikiran yang bercorak intelektual dari kalngan kaum muda akan mendorong secara terus-menerus persyarikatan ini pada suatu bentuk manifestasi gerakan tajdid yang sejak awal telah menjadi ciri khas dan karakter Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang terus bersemangat dalam membawa gagasan Islam yang berkemajuan.
Akhirnya, jika kaum tua di dalam tubuh Muhammadiyah dapat menerima bahkan mendukung kehadiran semangat anak-anak mudanya dalam meletakan fondasi intelektualisme yang serba baru, saya rasa Muhammadiyah tidak lagi akan menjadi suatu organisasi yang serba kaku ketika  berhadapan dengan berbagai persoalan yang terjadi dizaman yang serba kompleks ini. Namun, jika kaum tua masih saja tetap menghambat laju pemikiran yang lahir dari pemikiran dan karya kaum  muda dengan semangat intelektualnya, berarti dalam hal ini para kaum tua tidak ubahnya seperti para ulama konservatif yang telah memasung semangat tajdid yang dahulu telah dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah ketika masa awal. Oleh karenanya, statement “kerja intelektual adalah kerja seumur hidup” dari Buya Syafii Maarif perlu direnungkan kembali oleh para kaum tua yang selama ini selalu mengkhawatirkan munculnya pemikiran baru di tubuh Persyarikatan Muhammadiyah saat ini. Padahal,  Intelektualismelah yang memajukan suatu zaman ke arah yang mencerahkan. Wallahua’lam!
·Adalah Ketua Umum PC IMM Jakarta Timur

KEMBALI PADA KOMITMEN DASAR IMM; MANIFESTO “AKADEMISI ISLAM YANG BER-AKHLAQUL KARIMAH” oleh Salman Ahmad Ridwan

Tahun ini, IMM akan memperingati milad-nya yang ke-47 M. Dalam perjalanan usianya yang begitu cukup panjang, IMM telah melalui berbagai macam persoalan dan proses dinamika di setiap dimensi pergerakannya, baik itu secara sosial, budaya, dan politik kebangsaan. Kendati pun demikian, dari segi subtansial pergerakannya IMM masih saja mendapatkan suatu permasalahan mendasar yang tentunya pula telah memunculkan suatu pertanyaan mendalam bagi kita. Yaitu, apakah kader-kader IMM telah menempatkan dirinya sebagai identitas yang sesuai dengan harapan visi besarnya? Apakah kader-kader yang masuk dalam bingkai ikatan ini memang terdorong atas dasar kepribadian yang sadar bahwa dirinya harus berperan sebagai aktor-aktor perubahan di lingkungannya? Saya meyakini bahwa setiap kader yang menandakan identitasnya sebagai kader IMM, telah memiliki citra dan karakteristik beragam, baik dalam gagasan serta harapannya. Namun, apakah dengan adanya keberagaman motivasi dalam menggeluti perjalanan ideologis ini kita telah menempatkan pada suatu alur yang sesuai dengan visi besarnya IMM: “Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berhlak mulia...”?
Hal di atas sangat layak untuk menjadi pertanyaan yang dimunculkan saat ini, karena sampai dengan hari ini, mengingat kurangnya minat kader IMM dalam mengkaji berbagai macam kerangka berpikir tentang luasnya khazanah keilmuan, telah membawa sedikit demi sedikit penandaan peran dan identitas IMM sebagai gerakan intelektual (harakatul fikri) tergeser. Sehingga sangat mustahil, dalam mengupayakan arah pada tumpuan besar harapan menjadi sebagai cendikiawan yang berpribadi hal ini akan semakin sulit untuk diwujudkan. Walaupun telah melahirkan berbagai generasi-kegenerasi, memang ada berbagai macam proses yang mengarah pada pengkajian yang bercorak akademis (keilmuan). Tapi, terkadang dalam proses pengkajian yang bercorak ke arah gerakan pemikiran tersebut hanya mencerminkan sebagai suatu rutinitas yang hampa dan kosong, tidak terinternalisasi secara mendalam dan nyata pada kesadaran dirinya.

Sangat disayangkan, tindakan aksi dalam mewujudkan suatu budaya akademis atau keilmuan (cultural academic) saat ini seakan telah terjebak pada suatu mekanisme yang bersifat programer, suatu konstruksi kebudayaan yang bercorak formalitas dan cenderung instrumentalistik. Model pembelajaran dalam memahami keadaan realitas dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya semakin terlihat abstrak, misalnya dalam melihat fenomena masalah dehumanisasi, hedonisme, konsumerisme, dan persoalan-persoalan kemanusiaan lainnya semakin luntur dalam pembahasan komunikasi ilmiah(sience of communication) di kalangan kader-kader IMM. Kehadiran Kita sendiri, akhirnya hanya sekedar menjadi audience yang pasif. Ada pun memang terkadang usaha kita untuk menjadi aktor, hanya terlihat layaknya seorang petani gunung yang turun ke dasar sebuah desa, kemudian setelah itu kembali lagi ke atas gunung tanpa ada tindakan lanjut (follow up) yang seakan-akan sudah selesai.
Pernyataan seperti itu, saya kira sudah saatnya lagi bagi kita untuk mengembalikan komitmen kita pada maksud dan tujuan IMM yang sudah terumuskan secara sistemik dan administratif. Sebab jika kita tidak mengembalikan semangat pada komitmen ini, merefleksikan tentang apa motivasi kelahiran IMM yang penuh dengan dukungan Muhammadiyah sebagai salah satu wadah ideologis pelebaran sayap dakwah ke-Muhammadiyah-annya mungkin saat ini tidak terbangun. Maka hal ini IMM akan mengalami sesuatu yang sulit untuk menemukan identitasnya sebagai harakatul fikri, karena di dalamnya sendiri saja, parta kader IMM tidak berani untuk menanamkan spirit gerakan tersebut. Hingga pun,  apa yang terlihat selama ini atas kehadirannya, IMM hanya terlihat sebagai simbol yang penuh dengan kehampaan. Inilah lemahnya pemikiran kita yang jarang sekali membaca secara mendalam tentang motivasi gerakan IMM sebagai gerakan yang berusaha untuk membentuk suatu budaya masyarakat yang beridentitaskan akademisi (academicus society), sebuah usaha pemikiran yang cukup lama untuk diwujudkan, kini seakan-akan semuanya telah tenggelah dalam lautan padang pasir yang kosong dan gersang.
Akademisi (Cendikiawan) Yang Berpribadi
Secara bahasa, istilah akademisi ditunjukan sebagai seseorang yang telah memiliki status berpendidikan tinggi, atau dalam bahasa populernya adalah seorang mahasiswa. Berbeda secara artian bahasa, kata akademisi yang dimaksud dalam tulisan ini akan di arahkan dalam pemaknaan yang sama atau sepadan dengan istilah cendikiawan, intelektual, atau pemikir. Karena, secara subtansial tentang apa yang dikmaksdukan oleh motivasi hadirnya IMM di tubuh Muhammadiyah dan ranah kebangsaan adalah menghadirkan kader-kader muda Muhammadiyah yang mantap secara intelektual.
Harus diakui bahwa, betapa pentingnya suatu agagasan atau ide yang berasalkan dari suatu pemikiran telah lahir dalam proses perjalanan sejarah peradaban kemanusiaan. Sebab, jika peradaban kemanusiaan tanpa adanya suatu cita-cita yang lahir dari karya pemikiran, sudah tentu tidak akan ada kemajuan. Sedangkan perginya akan suatu cita-cita peradaban, tak lain pula merupakan suatu buah yang dikonstruksi dari pemikiran para cendikiawan yang mengarah pada perubahan sosial-budaya dan selalu menggelisahkan kehidupan di lingkungannya.
Secara populis, mereka yang disebut sebagai aktor-aktor perubahan sosial-budaya ini adalah para cendikiawan, intelektual, atau para pemikir, Merekalah para tangki pemikiran yang mengkonstruk suatu budaya-kemasyarakatan sebagai usaha untuk mengubah keadaan masyarakat dari keadaan sebelumnya, dengan kadar kualitas pemikirannya yang mendalam, mereka bisa menentukan arah perjalanan sejarah kemanusiaan, lingkungan, bahkan bangsanya. Maka sangat tak heran sekali, munculnya nama-nama pemikir besar dalam sejarah peradaban kemanusiaan, tidak lain karena kegigihan dan sumbangsih pemikiran mereka tajam dalam memikirkan keadaan lingkungannya, sehingga bisa dibawa pada suatu ruang perubahan.
Cendikiawan berpribadi, menandakan dirinya sebagai tangki pemikiran yang disumbangkan secara total untuk perubahan lingkungan dan masyarakatnya. Secara ideal, ia memiliki karakter dan kepribadian yang ahli serta bijaksana, yang bisa menempatkan kepribadiannya untuk masyarakat dan selalu ada bersama masyarakat. Mereka muncul dalam pergulatan sehari-hari untuk memenuhi amanah rakyat sesuai dengan keadaan tempat dan waktu tertentu. Seperti, mengagendakan siasat politik untuk kepentingan masyarakat tertentu, mengaktualisasikan pembelaannya terhadap hak-hak masyarakat minoritas, pencemaran lingkungan, atau pun yang lainya, yang berkenaan dengan persoalan-persoalan umum yang menimpa keadaan masyarakat di sekitarnya.

Peran cendikiawan yang memiliki kepribadian bukanlah peran cendikiawan yang hanya bisa menempatkan dirinya pada tempat yang jauh dengan kondisi masyarakatnya, apalagi para cendikiawan tersebut bersifat elitis, bahkan telah melakukan “persetubuhan” dengan struktur kekuasaan yang hegemonik. Karena tindakan kecendikiawanan seperti ini akan sangat berbahaya, dengan segala macam kapasitas kekuatan pemikirannya itu, tentunya akan memperkuat situasi struktur hegemonik yang bercorak status quo. Kasus ini telah terjadi di Jerman, ketika Martin Heideger, salah seorang intelektual fenomenal yang telah melakukan “persetubuhan” dengan Partai Nazi di bawah kekuatan yang dikendalikan oleh Adolf Hitler. Tindakan yang dilakukan oleh Heideger adalah suatu tindak kecendikiawanan yang ditandakan khianat. Karena tindakan kecendikiawanan seperti itu tidak menampilkan suatu sifat yang netral, akan tetapi malah memaksakan dirinya untuk melakukan pembenaran-pembenaran politik bagi kekuasaan.
Lalu  pertanyaannya untuk negeri kita, dengan keadaan kondisi kehidupan masyarakat yang serba timpang ini, apakah masih ada para cendikiawan yang masih mau mengatasnamakan atau bahkan rela untuk berdiri di tengah-tengah bersama masyarakatnya dalam mengahadapi kekuatan politis yang hegemonik? Bukankah seorang cendikiawan itu selalu diidentikan dengan semangat perubahan yang membebaskan? Jika memang ada, berarti apa yang telah dikatakan oleh Antonio Gramsci tentang akan hadirnya peran “intelektual organik” dalam menyelamatkan situasi masyarakat yang serba terpuruk itu masih relevan untuk dijadikan spirit perjuangan yang selalu membela untuk kepentingan masyarakat secara umum, Atau yang disebut dalam ramalan Ronggo Warsito yaitu akan hadirnya ratu adil, yang akan membawa keadaan masyarakat pada sebuah zaman yang mantap stabilitasnya dan penuh dengan kemakmuran, yaitu zaman kalasuba. Namun jika tidak, habislah kita semua. Termakan oleh gigitan kendali kekuasaan yang hegemonik.
Memang upaya untuk menciptakan sosok-sosok cendikiawan yang rela untuk meluangkan waktunya secara total bagi masyarakat sangatlah sulit untuk dilakukan pada saat ini. Kita mengakui bahwa keadaan kehidupan masyarakat saat ini cenderung lebih bersifat mekanis di bawah kekuatan teknologi modern serba atomatis dan standaritatif. Lalu, apakah dengan ketahuan kita terhadap kenyataan seperti ini kita akan larut secara total pada kemapanan zaman yang cenderung mengasingkan kemanusiaan kita? Saya rasa tidak. Karena jika kita terlalu larut pada kemapanan zaman yang serba mekanistis saat ini, kita akan kehilangan paradigma kritis kita, sebagai refleksi tajam untuk terus-menerus melakukan kritik serta mengarah pada suatu aksi pembebasan.


Aksi Pembebasan Adalah Misi Kenabian
Upaya melakukan suatu tindakan aksi pembebasan terhadap masyarakat adalah sesuatu panggilan moral dan spirit untuk melanjutkan misi para nabi-nabi terdahulu. Lihatlah bagaimana usaha propaganda Ibrahim yang membonkar struktur dominan kekuasaan Namrud. Atau pun upaya Musa yang menerapkan semangat “exodus”,spirit untuk membebaskan kaum Bani Israil yang tertindas serta mengahadapkannya dengan struktur kekuasaan Fir’aun yang tiran dan arogan. Begitu juga bagaimana Isa Almasih yang menebarkan pesan ajaran cinta-kasih kepada kaummnya di tengah keadaan masyarakat yang berada di bawah kendali struktur hegemonik Imperium Romawi. Serta Muhammad s.a.w. dengan semangat partisipatorisnya yang bersedia dan rela untuk hidup bersama kaum miskin dan tertindas (al-masakin wal mustada’fin).
Semangat pembebasan yang dilakukan oleh para nabi-nabi terdahulu seharusnya menjadi suatu inspirasi gerakan dalam arungan langkan perjuangan ideologis IMM. Sering sekali kita tidak menyadari bahwa saat ini, masyarakat kita telah terjebak dalam alur hegemonisasi global yang mengakibatkan masyarakat kita menjadi terbelakang. Kemiskinan, pembodohan, kelaparan, dan ketidak-kritisan masyarakat seakan-akan tidak bisa dipecahkan. Bukankah hal itu merupakan PR besar bagi IMM, yang secara kelembagaan memiliki identitas sebagai gerakan moral yang berupaya membawa peradaban masyarakat terbelakang menjadi peradaban masyarakat yang utama (high civilization). Lalu, pertanyaan selanjutnya, dimanakah saat ini IMM? Bukankah selama ini kita telah menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri akan kuatnya arus dehumanisasi? Yaitu, dimana keterbelakangan masyarakat secara luas yang dimunkarkan secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya para manusia tak beradab.
Hari ini, dalam rangka menuju milad-nya yang ke-47 tahun, IMM perlu meluaskan jaringannya yang luas bersama beberapa unsur elemen-elemen yang sejalan untuk memanifestasikan humanisasi yang diiringi oleh spirit religiusitas. Di sisi lain perlu juga kembali memoleskan wajahnya sebagai gerakan pemikiran yang dapat melihat problem pada realitas secara radikal sampai pada akarnya. Dengan kekuatan pemikiran yang mendalam ini, maka IMM akan mengetahui bahwa apa sebenarnya yang menjadi titik masalah dalam perjalanan kemanusiaan saat ini. Dalam melihat sumber dari titik persoalannya, bukan berarti IMM hanya menempatkan dirinya sekedar tahu, Akan tetapi, harus juga di manifestasikan sebagai tindakan aksi yang nyata serta masif dalam menyuarakan persoalan-persoalan kemanusiaan. Karena, jika IMM hanya menempatkan dirinya untuk sekedar tahu, IMM akan terjebak pada suatu sikap meminjm istilah Karl Marx sebagai kesadaran palsu.

Tidak ada jalan lain lagi bagi IMM untuk berusaha menempatkan kembali komitmen dasarnya sebagai gerakan yang berusaha untuk mewujudkan akademisi Islam yang berahlak mulia, sesuai dengan cita-cita persyarikatan Muhmmadiyah. Dalam mengusahakan untuk kembali pada komitment dasarnya, tentunya IMM perlu melahirkan kader-kadernya yang siap untuk berhadapan dengan segala tantangan zaman yang semakin kompleks, di sisi lain pun tidak pula untuk melupakan semangat pembaruan gagasan keislaman yang berkemajuan. Karena jika tidak seperti itu, saya rasa IMM akan semakin mengalami keterasingan dari identitasnya sebagai gerakan intelektual (harakatul fikri).
Akhirnya, rumusan maksud dan tujuan IMM untuk mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berahlak mulia, harus ditempatkan pada kenyataan yang riil, bukan suatu gagasan yang hanya di tempatkan pada ruangan kosong atau hanya sekedar di atas meja, akan tetapi harus kita usahakan dengan sekuat tenaga agar bisa menjadi suatu manifestasi kebuadayaan yang dapat membawa manusia kepada pendewasaanya. Wallahu’alam bi al-shawab!
Selamat Milad!

Baru

oke